Minggu, 20 Maret 2016

Asal Usul Marga Parna

Pomparan ni si Raja Naiambaton biasa disingkat menjadi PARNA, yaitu marga-marga yang dipercayai sebagai keturunan dari Raja Naiambaton yang karenanya tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam tulisan-tulisan pustaha Batak yang berbunyi "Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” dalam bahasa Batak Toba, yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri,” yang dalam arti lebih luas lagi dapat diartikan bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh menikah satu sama lain.”

Raja Naiambaton

Satu tulisan menyatakan bahwa Raja Naiambaton merupakan keturunan keenam dari Raja Batak, seperti berikut: Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan, memperanakkan Raja Isumbaon, memperanakkan Tuan Sorimangaraja, memperanakkan Raja Asiasi, memperanakkan Sangkaisomalindang, dan memperanakkan Raja Naiambaton.


Marga-marga Parna

Terdapat perbedaan pada jumlah marga yang masuk dalam kelompok Parna ini, hal ini disebabkan karena kebudayaan Batak yang dapat menggunakan marga leluhur, percabangan marga kakek, ayah, atau bahkan percabangan marga baru. Tetapi walau berbeda marga, semuanya mengaku dipersatukan oleh ucapan di atas ("Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”).
Penyebab lain dari perbedaan jumlah marga ini adalah adanya beberapa marga dari non-Tapanuli/Toba yang tidak mengakui marganya sebagai keturunan dari Raja Nai Ambaton.
Selain itu, kelompok Parna juga pernah mengeluarkan marga yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dinasihatkan oleh Nai Ambaton, misalnya Haromunthe.
Haromunthe, jika dirunut sesuai literatur dan kesaksian dari pemilik marga ini, adalah keturunan dari Munte. Sejak dikeluarkan dari kelompok ini, maka orang Batak yang bermarga Haromunthe tetap melaksanakan adat-istiadat Batak dan karenanya tetap menjadi bagian dari masyarakat Batak dalam lingkup yang lebih luas. Keterangan tentang marga ini bisa ditelusuri di haromunthe.com
Nasib sejenis juga dialami oleh marga Sidabungke [lazim dilafalkan Sidabukke atau Dabukke.
Ada 48 marga yang termasuk dalam Pomparan Ni Raja Nai Ambaton (PARNA) yaitu:
Urutan ini berdasarkan yang tertua:
1. Simbolon
2. Tinambunan
3. Tumanggor/Tumangger
4. Turuten
5. Maharaja
6. Pinayungan
7. Nahampun
8. Tamba ( Sitonggor )
9. Siallagan
10. Turnip
11. Tamba ( Lumban Tonga-tonga )
12. Sidabutar
13. Sijabat> Dajawak
14. Siadari
15. Sidabalok
16. Tamba ( Marhatiulubalang )
17. Siambaton
18. Munte ( Lumban Tonga-Tonga )
19. Tamba ( Lumban Toruan/Rumaroha )
20. Rumahorbo
21. Napitu
22. Sitio
23. Sidauruk
24. Simalango
25. Saing
26. Simarmata
27. Nadeak
28. Saragi
29. Sumbayak
30. Sitanggang
31. Sigalingging
32. Manihuruk
33. Garingging
34. Tendang
35. Banurea
36. Manik Kecupak/Mengidar
37. Gajah
38. Bringin
39. Brasa
40. Boang Manalu
41. Bancin
42. Saraan
43. Kombih
44. Berampu
45. Munthe
46. Damunthe
47. Dalimunthe
48. Ginting.
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25

4 komentar:

  1. klu g tau tarombo g usah sok tau bos gimana ceritanya sitanggang kok jadi nomor urut 30 dan gajah barasa tendang Bringin banuarea masuk ke tarombo parna,jdi tlng bos belajar tarombo lebih dalam lgi atau buka dulu buku tarombo yg ada di sejarah di samosir, trimakasih,

    BalasHapus
  2. klu g tau tarombo g usah sok tau bos gimana ceritanya sitanggang kok jadi nomor urut 30 dan gajah barasa tendang Bringin banuarea masuk ke tarombo parna,jdi tlng bos belajar tarombo lebih dalam lgi atau buka dulu buku tarombo yg ada di sejarah di samosir, trimakasih,

    BalasHapus
  3. Marga apa kau keong,sok tau kau.sitanggang itu nomor berapa taik?.aku Siap melayani kau kontol.sok tau kau bilang simbolon si abangan.

    BalasHapus
  4. Wei bagudung,marga apa kau sok tau kali kau tarombo PARNA

    BalasHapus