Minggu, 20 Maret 2016

Mengungkap Arti Dibalik Kata Horas

  “HORAS“ ma di hita saluhutna. Sering jika bertemu dengan orang Batak, kata pertama yang diucapkan adalah “HORAS“. Sekilas, orang hanya tahu “HORAS“ itu adalah sapaan atau salam saja. Namun tidaklah demikian sebenarnya. “HORAS“ itu adalah suatu termonologi yang di dalamnya termuat falsafah hidup orang Batak. Dan falsafah ini harus dibawa orang Batak kemanapun ia pergi.

Boru Batak Manortor - Mengungkap Arti Dibalik Kata Horas
Ilustrasi: Foto Boru Batak Manortor
Sumber Foto: Facebook

Sekilas kami jelaskan apa itu “HORAS“. “HORAS“ adalah suatu singkatan dari

H. -> Holong masihaholongan = kasih mengasihi
O. -> On do sada dalan nadumenggan = inilah jalan yang terbaik
R. -> Rap tu dolok rap tu toruan = seia sekata
A. -> Asa Taruli pasu-pasu = supaya kita diberkati
S. -> Saleleng di hangoluan=selama kita hidup.

Jadi kata “HORAS“ itu adalah suatu cita-cita atau harapan yang mengambarkan bahwa setiap orang batak harus hidup saling mengasihi karena inilah jalan yang terbaik dan diwujudkan dengan seia sekata supaya kita mendapat berkat selama hidup kita. Demikian secara singkat kata ini dimaknai.

Mengungkap Arti Dibalik Kata Horas

HORAS“ diucapkan pada saat berjumpa maupun saat akan berpisah. “HORAS“ juga digunakan sebagai salam pembuka dan penutup dalam setiap acara Batak.

Jika seseorang mengucapkan salam ““HORAS“” kepada anda sahutlah dengan mengucapkan ““HORAS“” juga. Ini akan membantu menciptakan suasana yang bersahabat dan bersemangat.

Karena artinya yang sangat indah dan penuh makna itulah maka banyak orang Batak menamai anaknya dengan nama ““HORAS“”.

Demikianlah tulisan mengenai "Mengungkap Arti Dibalik Kata Horas". Semoga bisa bermanfaat. Horas. Tuhan memberkati.

Pengertian Pariban Dalam Adat Batak

Pengertian Pariban Dalam Adat Batak
sumber:google image

  -Batak adalah salah satu suku terbesar di Indonesia, batak juga memiliki seribu satu adat yang unik yang pantas kita banggakan dan lestarikan. Kini saya hadir dengan postingan mengenai Pariban, sebagian orang mengatakan bahwa pariban adalah sesuatu yang unik, sebagai contoh nya, jika orang tua sudah berbicara tentang pariban maka itu adalah hal buruk, sebab bisa digambarkan bahwa itu adalah kode awal orang tua akan menjodohkan anak nya. Lalu apakah pariban itu?

Pariban adalah saudara sepupu, seorang laki-laki memanggil pariban kepada seorang perempuan yang tidak lain adalah anak tulang ( tulang arti nya paman -red ), berbeda dengan perempuan, perempuan akan memanggil pariban pada laki-laki anak dari namboru, namboru adalah sebutan untuk saudara perempuan dari ayah baik kakak, maupun adik.

 Untuk saudara sepupu yang bukan pariban dipanggil "Ito" atau "Iboto", yaitu:
  •     Saudara sepupu seorang laki-laki, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki Ayah (Amangtua/Bapak Tua/Pak De atau Amang Uda/Uda/Bapa Uda/Pak Lik), atau saudara sepupu seorang perempuan, yakni  anak laki-laki dari Amangtua atau Amanguda.  Hubungan sepupu seperti ini masih sedarah atau semarga;
  •     Saudara sepupu perempuan seorang laki-laki dari keturunan saudara perempuan Ibu atau saudara sepupu laki-laki seorang perempuan dari keturunan saudara perempuan Ibu.
Ada sebagian orang dari suku batak yang kurang mengerti dan bahkan tidak tau siapa pariban nya, maka saya akan memberitahu untuk mengetahui nya cukup mudah. Jika kamu laki-laki, anak perempuan dari tulang adalah pariban, dan jika kamu perempuan maka putra dari namboru adalah pariban. Contoh nya seperti saya, ibu saya boru (istilah marga -red) Saragih/Turnip maka pariban saya adalah boru saragih/turnip.

Jadi, pariban merupakan sepupu yang dapat dinikahi (na boi dioli).  Menikah (mangoli) dengan pariban selaku putri dari pamannya (boru ni Tulang/boru Tulang) merupakan perkawinan ideal menurut adat Batak.  Isitilahnya beristrikan putri paman (marboru ni tulang/mangalap boru ni tulang). Jika seorang kemenakan (bere) akan menikah tidak dengan pariban-nya, ia menghadap dan menyampaikan permohonan “maaf” kepada Tulang secara santun dan arif untuk mendapatkan pengertian dan selanjutnya meminta doa restu dari Tulang-nya.

Dalam kebiasaan suku Batak, umumnya seorang Tulang sangat sayang dan perhatian kepada bere-nya, bahkan bisa melebihi kepada anak kandungnya sendiri. Tulang bebas memerintah/menyuruh berenya mengerjakan sesuatu, sebaliknya Tulang akan sulit menolak permintaan bere-nya.  Bere bahkan lebih bermanja-manja kepada Tulang-nya dibanding kepada orangtuanya.

Pada pergelaran pesta adat, golongan “Pariban” merupakan kelompok putri (beserta suaminya dan putra) dari  pihak Hula-hula .

Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Batak Toba

upacara pernikahan adat batak
rumahpetik.files.wordpress.com
Adapun tata cara adat Batak dalam pernikahan yang disebut dengan adat na gok, yaitu pernikahan orang Batak secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu seperti tahap-tahap berikut ini:

1. Mangaririt

Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”.

2. Mangalehon Tanda

Mangalehon tanda maknanya mengasih tanda apabila laki-laki telah menemukan perempuan sebagai calon istrinya, kemudian keduanya saling memberikan tanda. Laki-laki biasanya mengasih uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat satu sama lain. Laki-laki lalu memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya, orang tua laki-laki akan menyuruh prantara atau domu-domu yang telah mengikat janji dengan putrinya.

3. Marhori-hori Dinding atau Marhusip

Marhusip artinya berbisik, tetapi arti dalam tulisan ini yaitu pembicaran yang bersifat tertutup atau bsia juga disebut pembicaraan atau perundingan antara utusan keluarga calon pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai mas kawin yang harus di siapkan oleh pihak laki-laki yang akan diberikan kepada pihak perempuan. Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena untuk menjaga adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat. Marhusip biasanya dilaksanakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki akan menerangkan tujuan kedatangan mereka pada keluarga calon pengantin perempuan.

4. Martumpol (baca : martuppol)

Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara pertunangan tetapi secara harafiah martupol merupakan acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja diikat dalam janji untuk melangsungkan pernikahan. Upacara adat ini diikuti oleh orang tua kedua calon pengantin dan keluarga mereka beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.

5. Marhata Sinamot

Marhata sinamot biasanya diselenggarakan setelah  selesai membagikan jambar. Marhata sinamot adalah membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa yang di sembelih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilaksanakan upacara pernikahan tersebut. Adat marhata sinamot bisa juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diserahkan pihak laki-laki biasanya berupa uang sesuai jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat tawar-menawar.

6. Martonggo Raja atau Maria Raja

Martonggo raja merupakan suatu kegiatan pra upacara adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara yang bertujuan untuk mempersiapkan kepentingan pesta yang bersifat teknis dan non teknis. Pada adat ini biasanya dihadiri oleh teman satu kampung, dongan tubu (saudara). Pihak hasuhuton (tuan rumah) memohon izin kepada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta (teman sekampung) untuk membantu mempersiapkan dan menggunakan fasilitas umum pada upacara adat yang sudah direncanakan.

7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)

Pemberkatan pernikahan kedua pengantin dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta. Setelah pemberkatan pernikahan selesai, maka kedua penagntin telah sah menjadi suami istri menurut gereja. Setelah pemberkatan dari Gereja selesai, lalu kedua belah pihak pulang ke rumah untuk mengadakan upacara adat Batak dimana acara ini dihadiri oleh seluruh undangan dari pihak laki-laki dan perempuan.

8. Ulaon Unjuk (Pesta Adat)

Setelah selesai pemberkatan dari Gereja, kedua pengantin juga menerima pemberkatan dari adat yaitu dari seluruh keluarga khususnya kedua orang tua. Dalam upacara adat inilah disampaikan doa-doa untuk kedua pengantin yang diwakili dengan pemberian ulos. Selanjutnya dilaksanakan pembagian jambar (jatah) berupa daging dan juga uang yaitu:
  • Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak perempuan adalah jambar juhut (daging) dan jambar tuhor ni boru (uang) dibagi sesuai peraturan.
  • Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak pria adalah dengke (baca : dekke/ ikan mas arsik) dan ulos yang dibagi sesuai peraturan. Pesta Adat Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.

9. Mangihut Di Ampang atau Dialap Jual

Dialap Jual artinya jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan, maka dilaksanakanlah acara membawa penagntin perempuan ke tempat mempelai laki-laki.

10. Ditaruhon Jual

Jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki, maka penagntin perempuan dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namboru-nya ke tempat namboru-nya. Dalam hal ini paranak wajib mengasih upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak diberlakukan.

11. Paulak Une

Adat ini dimasukkan sebagai langkah untuk kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang upacara pernikahan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara pernikahan. Pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin mengunjungi rumah pihak orang tua pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa putrinnya betah tinggal di rumah mertuanya.

12. Manjae

Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani hidup berumah tangga (kalau laki-laki tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya kalau anak paling bungsu mewarisi rumah orang tuanya.

13. Maningkir Tangga (baca: manikkir tangga)

Setelah pengantin manjae atau tinggal di rumah mereka. Orang tua beserta keluarga pengantin datang untuk mengunjungi rumah mereka dan diadakan makan bersama.
pernikahan adat batak toba



Demikian tata cara upacara pernikahan adat Batak Toba, namun akhir-akhir ini tidak semua lagi urutan ini dilaksanakan seperti semula, terutama orang-orang Batak yang berada diperantauan. Beberapa telah dibuat menjadi lebih sederhana.

Semoga bermanfaat dan menambah wawasan untuk kita semua.

TUAK Minuman Kita Batak



Siapa Masyarakat Yang Tidak kenal sama namanya Tuak ? Terutama bangsa Batak . Horas ! Hidup Tuak . hahaha. Say no to Drugs but Say yes to TUAKS.


Tuak yang menjadi minuman khas orang-orang Batak memang aslinya disadap dari pohon bagot, akan tetapi tuak minuman khas itu dapat pula disadap dari pohon kelapa. Maka secara umum bagi orang Batak sekarang ini bahwa tuak berdasarkan sumbernya dibagi dalam dua kategori yang disebut tuak bagot dan tuak kalapa.


Di daerah Batak Toba , banyak Lapo atau biasa disebut warung yang menyediakan minuman Tuak. Apalagi dari kota Balige sampai Parsoburan , wah ini nih yang terbanyak ditemukan kedai tuak. Biasanya kedai Tuak pasti ramai tiap malam karena banyakan Orang Batak suka minum Tuak terutama para kaum Lelaki Batak.

Seperti biasa yang Saya perhatikan tiap malamnya, pasti Anda bertanya gimana suasana kedai tersebut jika malam malam .




Wah jangan heran, tiap malam semua kedai tuak pasti ramai sekali. Pokoknya tiap malam orang rumahan mungkin terganggu karena suasana di kedai ...

Anda sekalian pasti tau lah kan, apa saja yang dilakukan Kaum lelaki di kedai Tuak...


Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo.


Di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).


Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo-lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.


Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo-lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang batak .


Di Lapo Tuak jugak biasanya ada yang menyediakan TAMBUL atau biasa disebut daging pengisi perut sambil minum tuak. Wah enak dong ya , minum tuak sambil makan Tambul . heheheh . ini nih contoh salah satu tambul di lapo tuak :





Lapo dan orang batak menjadi hal yang tak terpisahkan. Keduanya besar karena saling membesarkan.
Asal Usul Marga Parna

Pomparan ni si Raja Naiambaton biasa disingkat menjadi PARNA, yaitu marga-marga yang dipercayai sebagai keturunan dari Raja Naiambaton yang karenanya tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam tulisan-tulisan pustaha Batak yang berbunyi "Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” dalam bahasa Batak Toba, yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri,” yang dalam arti lebih luas lagi dapat diartikan bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh menikah satu sama lain.”

Raja Naiambaton

Satu tulisan menyatakan bahwa Raja Naiambaton merupakan keturunan keenam dari Raja Batak, seperti berikut: Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan, memperanakkan Raja Isumbaon, memperanakkan Tuan Sorimangaraja, memperanakkan Raja Asiasi, memperanakkan Sangkaisomalindang, dan memperanakkan Raja Naiambaton.


Marga-marga Parna

Terdapat perbedaan pada jumlah marga yang masuk dalam kelompok Parna ini, hal ini disebabkan karena kebudayaan Batak yang dapat menggunakan marga leluhur, percabangan marga kakek, ayah, atau bahkan percabangan marga baru. Tetapi walau berbeda marga, semuanya mengaku dipersatukan oleh ucapan di atas ("Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”).
Penyebab lain dari perbedaan jumlah marga ini adalah adanya beberapa marga dari non-Tapanuli/Toba yang tidak mengakui marganya sebagai keturunan dari Raja Nai Ambaton.
Selain itu, kelompok Parna juga pernah mengeluarkan marga yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dinasihatkan oleh Nai Ambaton, misalnya Haromunthe.
Haromunthe, jika dirunut sesuai literatur dan kesaksian dari pemilik marga ini, adalah keturunan dari Munte. Sejak dikeluarkan dari kelompok ini, maka orang Batak yang bermarga Haromunthe tetap melaksanakan adat-istiadat Batak dan karenanya tetap menjadi bagian dari masyarakat Batak dalam lingkup yang lebih luas. Keterangan tentang marga ini bisa ditelusuri di haromunthe.com
Nasib sejenis juga dialami oleh marga Sidabungke [lazim dilafalkan Sidabukke atau Dabukke.
Ada 48 marga yang termasuk dalam Pomparan Ni Raja Nai Ambaton (PARNA) yaitu:
Urutan ini berdasarkan yang tertua:
1. Simbolon
2. Tinambunan
3. Tumanggor/Tumangger
4. Turuten
5. Maharaja
6. Pinayungan
7. Nahampun
8. Tamba ( Sitonggor )
9. Siallagan
10. Turnip
11. Tamba ( Lumban Tonga-tonga )
12. Sidabutar
13. Sijabat> Dajawak
14. Siadari
15. Sidabalok
16. Tamba ( Marhatiulubalang )
17. Siambaton
18. Munte ( Lumban Tonga-Tonga )
19. Tamba ( Lumban Toruan/Rumaroha )
20. Rumahorbo
21. Napitu
22. Sitio
23. Sidauruk
24. Simalango
25. Saing
26. Simarmata
27. Nadeak
28. Saragi
29. Sumbayak
30. Sitanggang
31. Sigalingging
32. Manihuruk
33. Garingging
34. Tendang
35. Banurea
36. Manik Kecupak/Mengidar
37. Gajah
38. Bringin
39. Brasa
40. Boang Manalu
41. Bancin
42. Saraan
43. Kombih
44. Berampu
45. Munthe
46. Damunthe
47. Dalimunthe
48. Ginting.
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25
Bagi masyarakat Bangso Batak dan para anthropolog/etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang teguh memegang amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub etnis (puak), agama, sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kardoman.tumangger/inilah-ke-83-marga-parna-pomparan-ni-raja-nai-ambaton_550ff12ca333117c39ba7e25